Baleg Minta Masukan Akademisi Terkait Perubahan UU 42 Tahun 2008
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta masukan akademisi terkait dengan Perubahan atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. RUU ini merupakan salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2012.
Wakil Ketua Baleg Anna Mu’awanah mengatakan, masukan dari dua akademisi ini sangat peting karena di Baleg masih ada 2 (dua) pendapat, yaitu perlu dilakukan perubahan terhadap UU Pilpres dan di lain pihak tidak perlu dilakukan perubahan. Terhadap hal tersebut tentunya Badan Legislasi ingin mendapatkan pandangan dan masukan dari nara sumber.
Dalam rapat dengar pendapat umum dengan Ketut Putra Erawan dari Universitas Udayana Bali dan Chusnul Mar’iyah dari Universitas Indonesia, Senin (1/10), Anna mengatakan, ada dua strategi penyempurnaan yang bisa dilakukan yaitu penyempurnaan yang bersifat mendasar yang memerlukan perubahan atau amandemen kembali atas UUD 1945 dan penyempurnaan yang bersifat bertahap melalui perbaikan atau revisi terhadap segenap perundang-undangan bidang politik.
Idealnya penyempurnaan tersebut semestinya dilakukan secara mendasar sekaligus, namun karena berbagai pertimbangan obyektif seperti fisibilitasnya (feasibility), dan resiko serta cost politik yang mungkin diakibatkannya, maka penyempurnaan secara bertahap melalui revisi UU Politik adalah pilihan yang paling realistik.
Dalam memberikan masukannya, Chusnul fokus pada beberapa masalah utama yaitu Presidential Treshold (persyaratan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden), kampanye, survei dan teknis Pilpres dan tahapan Pemilu.
Chusnul beranggapan, batas parliamentary treshold cukup 3,5%. Dengan batas ini semua partai politik yang lolos ke parlemen atau memenuhi garis parliamentary treshold dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Chusnul, DPR tidak perlu takut dan tidak usah risau dengan kemungkinan banyaknya pasangan calon (Presiden dan Wakil Presiden). Secara teknis pelaksanaan pemilu pun juga bukan hal baru dalam konteks banyak calon.
Lebih jauh dia mengatakan, DPR harus membuka dan memberi peluang bagi munculnya calon-calon pemimpin nasional terbaik. Pemimpin terbaik itu dapat muncul dari partai politik-partai politik kecil. Tingginya tingkat perolehan suara yang diraih partai politik dalam Pemilu Legislatif, tidak otomatis akan menjanjikan figur terbaik bagi pemimpin nasional.
Karena itu, katanya, bukalah peluang selus-luasnya (dan secara wajar) bagi tampilnya warga negara terbaik untuk menjadi pemimpin nasional.
Di sisi lain, DPR tidak perlu khawatir jika calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih ternyata dari partai kecil, dan diasumsikan akan mendapat hambatan politik dalam proses pemerintahan dari kekuatan politik di parlemen.
Kemampuan komunikasi politik yang baik dan intens dari Presiden/Wakil Presiden akan mampu menembus sekat-sekat dan kebekuan antar partai di parlemen.
Menyoroti dana kampanye, menurut Chusnul harus dipikirkan untuk membatasi biaya kampanye (limit spending). Penggunaan biaya kampanye yang tidak dibatasi akan mengakibatkan kekuatan uang yang menentukan kemenangan calon presiden.
Masa kampanye yang diperpendek sangat diperlukan agar energi yang ada di masyarakat tidak terfokus kepada proses kampanye calon presiden. KPU memiliki peran penting dalam penyelenggaraan kampanye terutama berhubungan dengan kebijakan dan transparansi anggaran.
Sedang masalah survei atau quick count, harus diposisikan sebagai metode atau alat untuk membaca peta kekuatan dukungan terhadap kandidat-kandidat. Ia merupakan metode ilmiah yang sah dan memiliki argumen teoretik yang jelas dalam ilmu politik.
Quick count memiliki etika tersendiri dalam penggunaannya dan tidak boleh dilakukan dan digunakan untuk kepentingan sempit kelompok (apalagi kandidat) tertentu yang bertujuan menggiring opini publik sesuai yang diinginkan kelompok tertentu dengan kompensasi proyek yang mahal.
Sementara Ketut Putra Erawan dalam kesempatan tersebut mengatakan, penyempurnaan aturan bagi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, haruslah melahirkan pemimpin yang legitimate, melalui proses yang demokratik dan mereka melaksanakan mandatnya secara efektif.
Ketut menekankan perlunya pemikiran untuk meningkatkan efektifitas presidentialisme melalui perbaikan prosedur Pilpres yaitu dengan memperbaiki kualitas daftar pemilih, meningkat jumlah pemilih yang ikut Pilpres, mengatur survey, quick count secara tepat.
Selain itu, pengaturan proses dan tim kampanye, pelibatan publik dalam perhitungan suara, proses penetapan suara dan adjudikasinya, mempertahankan jumlah electoral/parliamentary threshold partai-partai pengusung dan perbaikan desain tahapan Pilpres.(tt)/foto:iwan armanias/parle.